hidup ditengah kesendirian bukanlah hal yang mudah bagi seseorang. bagaimana tidak, melakukan apa-apa sendiri dan hanya kesendirian itulah yang menjadi teman. hidup sendiri sebenarnya bukanlah merupakan pilihan, bagiku kesendirian adalah keterpaksaan yang harus ku alami.
"semua orang pasti tidak ingin sepertiku, termasuk akupun sebenarnya juga begitu, sekali lagi aku katakan itu merupakan keterpaksaan." tetapi entah mengapa aku bisa bertahan hidup sampai sekarang.
sudah 10 tahun, atau mungkin kurang sedikit atau lebih sedikit, entah aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai menjalani ini. benar juga kata orang; 'witing tresno jalaran soko kulino (cinta itu berawal dari kebiasaan) atau bisa karena biasa. sekarang aku sudah bisa merasakan apa yang disebut dengan kenyamanan.
kisah ini kira-kira berawal dari 10 tahun yang lalu, saat aku mengendarai mobil jeep melewati sebuah hutan yang belum pernah aku kenal sebelumnya. aku adalah pegawai sebuah toko elektronik yang cukup besar di surabaya.
bukan tanpa alasan aku memilih pekerjaan ini, dengan keterbatasan kemampuan yang kumiliki serta melihat kesempatan di tempat ini aku mencoba melamar pekerjaan ini dan aku pun bersyukur bisa masuk. meskipun hanya sebagai sopir pengantar barang pekerjaan ini tidaklah mudah, selain perlu kewaspadaan di malam hari, aku pun harus bekerja ekstra, maklum memang aku kurang begitu paham jalur-jalur perlintasan medan kerja, jalur pintas serta arah mana yang paling efisien. semua aku dasari hanya dengan keyakinan aku bisa.
ketika ada pesanan dari daerah jakarta aku menyanggupi untuk mengantar paket itu. di perjalanan, setiap 1 km aku selalu berhenti untuk sejenak untuk sekedar bertanya pada siapa saja yang ku temui, berharap jalan yang kulewati tepat dan tidak tersesat.
sesampainya disuatu tempat yang cukup sepi, jalan yang masih berupa tanah dan diselingi bebatuan, aku merasa sudah ada yang aneh, cukup jauh berjalan dan tidak menemui seorang pun. mencoba untuk kembali tetapi ternyata hanya berputar saja-saja. Aku kebingungan pada saat itu, hingga berhenti sejenak di bawah sebuah pohon yang belum pernah aku melihat sebelumnya. Pohon yang cukup rindang untuk berteduh, tak pernah terfikirkan sampai pada tempat ini.
Perasaan putus asa menghinggapiku. “bagaimana ini, aku sendirian ditempat yang tak aku kenal, pagaimana aku akan hidup, aku makan apa?, aku berteduh dimana?.” Di tengah kebingunganku aku baru tersadar, sudah beberapa lama duduk terdiam. Perasaan semakin tidak nyaman, ketika aku baru menyadari bahwa hari sudah menjelang sore.
Aku mengamati sekitar, sekarang aku tersesat disebuah tempat yang mirip hutan. memang mirip hutan, pepohonan yang cukup banyak tetapi hanya bergerombol disebagian tempat, sebagian tempat yang lain seperti padang savana yang cukup luas serta sebuah sungai kecil yang jernih airnya.
Sunyi, sepi makin terasa ketika matahari telah makin menjauh dariku. Perlahan cahayanya meredup, aku masih tidak percaya bahwa aku sekarang benar-benar di tempat seperti ini.
Aku bergegas menuju mobil, bensin sudah mulai menipis. Untung saja aku selalu membawa perbekalan yang cukup. Paling tidak dapat digunakan untuk bertahan hidup 2 hari. Sebuah tas ransel dengan lima buah bagian. Bagian paling besar ku isi dengan 5 buah roti kering berukuran sedang, satu buah nasi bungkus beserta lauknya dan dua buah pisang. Bagian tengah hanya berisi buku-buku catatanku. Bagian yang kecil berisi sebuah korek api, HP dan bulpoint. Sedangkan dua bagian kantung disamping kanan dan kiri adalah sebuah botol minuman dan pisau.
Semua peralatan ku kumpulkan, di satu tempat sebelah mobil, sembari mengunyah satu bungkus roti yang ku letakkan dimulut, ku susuri semak-semak, mengumpulkan ranting-ranting kecil serta dedaunan kering untuk menghangatkan tubuh. Terasa lega ketika api menyala, menghangatkan dan menjalar perlahan melewati daging dan tulang.
Beberapa saat kemudian, kantuk mulai menyerang, kubaringkan diri berdekatan dengan nyala api yang mulai padam. Perlahan ku letakkan bahu, ku lentangkan tubuh pelan-pelan seraya menghadap jauh ke langit. Aku baru tersadar malam ini sangat terang sekali, bintang-bintang bersinar tak ada yang menghalanginya. Bintang kecil, dilangit yang biru, dan aku pun tertidur.
Api padam, pada saat itulah aku terbangun, merasakan kedinginan yang mulai menjalar. Sesaat kemudian terdengar beberapa suara yang saling bersahutan. Suara burung hantu, jangkrik dan masih banyak lagi. Aku bergegas menuju mobil, mengambil sebuah senter. Ku amati sekeliling, ternyata benar kata orang-orang. Banyak hewan-hewan yang beraktifitas di malam hari. Ditengah dingin yang semakin menusuk tulang, aku berpindah tempat, masuk ke dalam mobil dan tidur di bagian belakang.
***
Pagi hari, aku dikejutkan dengan suara gerimis hujan. Aku bangun perlahan, menata posisi duduk dan sejenak mengatur nafas seraya mengumpulkan energi untuk bangun sepenuhnya. “ternyata tadi malam itu benar, bahwa aku tersesat dihutan, ini bukan mimpi.” Perasaanku bertambah tidak enak ketika mobil yang aku starter tidak bisa berjalan, ternyata banyak lumpur yang menghalangi jalan. Aku menunggu hujan reda dengan terus berfikir kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Hujan pun reda, dengan helaan nafas lega aku bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Nasib berkata lain, mobil tak bersuara sedikitpun ketika aku memutar kunci start. Akhirnya hal buruk yang aku takutkan terjadi. Aku mencoba keluar dari mobil, melepaskan jaket dan sepatu yang masih aku gunakan semalam. Dengan pelan-pelan aku menginjak tanah di hutan ini untuk yang pertama kalinya. Aku memandang sekitar. sepi sekali.
Di sudut pohon Akasia, terlihat seekor Tupai menggenggam sesuatu ditangannya. Ku coba ‘tuk mendekat.
“sepotong buah mirip dengan buah Apel, untuk apa?” hatiku penasaran. Seakan tak berkedip pandanganku tak teralihkan sedikitpun. Beberapa saat terlihat Tupai tersebut mendekati sebuah pohon yang dilubangi, seperti terowongan.
“astaga! Benarkah yang kulihat, ia memberikan potongan buah tersebut kepada kedua anaknya, apakah hewan punya perasaan?” sebuah pertanyaan dalam hati dan mungkin hanya hewan tersebut yang mampu memberi jawaban.
Di sekeliling, sepi memang, tapi alami. Tak ada sesuatu yang di buat-buat. Di sini tak ada kebisingan motor, tak ada asap seperti ketika pabrik-pabrik minyak bumi menyemburkan ‘kotoran’ dari moncongnya, tak ada suara mahasiswa berdemo meminta sekolah murah dan tak ada sesuatu yang membuat fikiran pusing.
“inikah kehidupan yang sebenarnya?.”
Dari beberapa yang ku amati, disini, aku mulai berfikir. Kehidupan bukan hanya sekedar mendapatkan dan menghabiskan. Dalam kehidupan juga mengajarkan kasih sayang dan kerelaan.
Di sini aku baru sadar tentang kehidupan yang sebenarnya. di sini aku belajar tentang anugrah Tuhan yang luar biasa. aku baru tahu bahwa selama ini aku menyianyiakan kehidupan, banyak melakukan sesuatu yang sia-sia belaka. seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa, bagaimana ingin memulainya kembali, bagaimana memilih jalan yang tepat dan benar menurut Tuhan.
0 comments :
Posting Komentar